Posted on : Bisnis Indonesia, 20 July 2018
HARIZUL AKBAR NAZWAR, B.Eng., M.Ec.Dev., MAPPI (Cert.)
(Certified Property Valuer & Real Estate Analyst at Amin, Nirwan, Alfiantori & Partners Valuation Firm)
Selama tiga dekade terakhir, terdapat banyak perubahan terhadap ruang kerja dan gaya bekerja seseorang. Perubahan ini paling banyak diakibatkan karena perkembangan teknologi yang semakin lama semakin cepat. Pada tahun 1985 Apple “Mac” diperkenalkan, Microsoft Excel diluncurkan, dan situs website “.com” pertama kali teregistrasi di dunia. Sejak saat itu pula perubahan kebutuhan kerja menjadi semakin cepat. Mesin tik digantikan komputer, mesin fax digantikan printer canggih, bahkan, ruang meeting yang serba besar mampu digantikan dengan ruang teleconference. Dengan hanya bermodal monitor, kamera, dan akses internet kita bisa berkomunikasi secara langsung dengan orang lain tanpa batasan jarak, dari ujung barat ke ujung timur, dari tempat yang berada paling utara, ke paling selatan.
Akibat perkembangan teknologi yang semakin cepat, kebutuhan kerja dan tugas pekerjaan saat ini bisa dilakukan dengan fleksibel. Kita bisa melakukan tugas kerja di rumah, di warung kopi, di cafe, bahkan di ruang publik sekalipun. Perubahan workstyle yang serba dinamis ternyata memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ruang kerja di Indonesia, secara khusus di Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi paling besar di Indonesia.
Memahami Co-Working Space
Secara sederhana, co-working space adalah sebuah ruang yang menawarkan tiga prinsip dasar yaitu collaborative, communities, dan workingspace. Co-working space merupakan salah satu terobosan baru yang muncul akibat kebutuhan ruang kerja yang dinamis, fleksibel, dan kolaboratif. Selain daripada hal diatas, co-working space muncul akibat booming-nya industri kreatif secara global .
Wabah co-working space pertama kali menyebar adalah di London. Hal ini diakibatkan karena adanya perubahan ekonomi yang drastis, dari rezim ekonomi padat modal yang beralih menjadi rezim ekonomi pada karya (Evans, et al., 2006). Dengan meningkatnya angka pengangguran pada medio 2000 an, pemerintah London membuat kebijakan baru dengan tajuk “New Labour’s Creative Industries” yang mendorong para angkatan kerja produktif untuk mencari alternatif baru dalam mencari pekerjaan. Seperti dugaan kita semua, industri kreatif muncul, tumbuh, dan secara cepat menyebar menjadi tren ekonomi di seluruh dunia. Industri kreatif juga muncul dan berkembang begitu cepat juga tidak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi yang cepat. Perkembangan teknologi berkontribusi besar terhadap peningkatan pengetahuan dan daya kreasi manusia yang pada akhirnya mendorong munculnya ekonomi digital dan industri kreatif.
Tercatat bahwa terdapat pertumbuhan co-working space yang eksponensial di seluruh dunia. Statista, sebuah website statistik terkemuka mencatat bahwa pada tahun 2010 hanya terdapat 600 co-working space diseluruh dunia, sedangkan pada tahun 2017 angka tersebut berubah menjadi 15.500, dan terus bertambah. Berdasarkan data tersebut, paling tidak terdapat pertumbuhan sebesar 25 kali (2.500%) jumlah co-working space hanya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Di Indonesia, pertumbuhan co-working space cukup signifikan. Menurut laporan dari British Council, terdapat paling tidak 132 creative hubs yang terdiri dari co-working space, creative space, dan makerspace. Angka ini meningkat secara dramatis apabila dibandingkan pada tahun 2010 dimana hanya terdapat 16 creative hubs di seluruh Indonesia. Angka pertumbuhan ini menunjukkan beberapa hal, salah satunya ada meningkatnya permintaan (demand) terhadap ruang kerja kreatif. Karena pertumbuhan co-working space tidak akan meningkat secara signifikan apabila permintaan terhadap co-working space tidak meningkat. Pertumbuhan ini juga linear apabila dibandingkan dengan meningkatnya pertumbuhan perusahaan start-up, dimana hingga saat ini terdapat 1.840 start-up di Indonesia yang menempatkan Indonesia berada pada ranking 6 dunia dalam kategori kuantitas perusahaan start-up.
Dengan pertumbuhan industri kreatif di Indonesia yang sangat tinggi, para pelaku industri kreatif membutuhkan ruang kerja yang murah dan fleksibel, mengingat terbatasnya modal para pelaku industri kreatif (Marino dan Lapintie, 2017). Tidak seperti coffee shops dan perpustakaan, co-working space biasanya memang didesain sebagai ruang kerja temporer yang menyediakan peralatan kantor standar, ruang kerja dinamis, dan ruang meeting, namun yang terpenting adalah co-working space memfasilitasi kesempatan untuk berjejaring lebih luas dengan para pelaku bisnis lainnya. Hal ini merupakan salah satu daya tawar terbesar yang ditawarkan oleh co-working space.
Co-Working Space : Tren atau Kebutuhan?
Dengan memperhatikan fenomena perkembangan dunia teknologi beberapa dekade terakhir, yang diikuti dengan perubahan sosial, budaya, dan ekonomi, tampaknya menjadi jelas bahwa faktor teknologi merupakan leading sector yang memengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia. Apabila teknologi terus berkembang, maka ekonomi digital dan industri kreatif akan selalu berkembang.
Bicara ruang kerja, maka tidak bisa dipisahkan hubungan interpersonal antara individu yang bekerja dengan ruang kerja tersebut. Jika dirunut berdasarkan tahun lahir, paling tidak terdapat empat generasi yang telah diterima secara umum. Yang pertama adalah generasi traditionalist yang lahir antara tahun 1925 – 1942, generasi baby boomers lahir antara tahun 1946-1964, generasi X lahir antara tahun 1965-1980 dan generasi millennials yang lahir antara tahun 1981-2000. Kehadiran generasi millennials sebagai pekerja aktif dimana para generasi millenials berada pada umur produktif saat ini terus meningkat, sedangkan generasi traditionalist dan generasi baby boomers semakin menurun. Setiap generasi memiliki karakteristiknya tersendiri, dan secara umum hal yang paling signifikan berpengaruh terhadap gaya bekerja tiap generasi adalah faktor teknologi. Generasi baby boomers kebanyakan hidup tanpa komputer dan gadget, sedangkan para millennials hampir selama hidupnya berdampingan dengan komputer, gadget, dan teknologi. Satu hal yang paling nyata adalah terkait dengan lama kerja pada tiap-tiap generasi pekerja. Generasi baby boomers relatif memiliki jam kerja yang lebih lama dari generasi X apalagi dengan generasi millennials. Jam kerja yang lebih pendek yang dialami generasi millennials bukan serta merta diakibatkan karena faktor “malas”, namun lebih kepada faktor teknologi dimana produktivitas manusia saat ini meningkat secara drastis akibat dibantu dengan teknologi yang mana berbeda jika dibandingkan dengan kehidupan generasi baby boomers.
Perbedaan tersebut ternyata terbukti dengan fenomena saat ini. Ketika dunia kerja kebanyakan diisi dengan generasi millenials yang bergerak dibidang industri kreatif dan ekonomi digital, yang cenderung menuntut fleksibel maka menjadi wajar apabila co-working space menjadi pilihan seksi bagi para pekerja industri kreatif. Dengan ciri para pekerja nya yang memiliki mobilitas tinggi, tidak suka terikat jam kantor, dan selalu belajar hal-hal baru, co-working space merupakan sarana ideal untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Seperti dijelaskan di atas, ruang kerja saat ini lebih digunakan sebagai sarana untuk memberikan transfer nilai dan budaya dari organisasi/perusahaan kepada para karyawan, menyediakan dan meningkatkan jaringan kerja, tempat untuk saling menukar pengalaman yang pada akhirnya menuju pada peningkatan daya kreativitas dan kolaborasi antar pekerja. Ruang kantor tidak bisa dilihat semata-mata sebagai ruang produksi, namun lebih jauh daripada itu, ruang kantor saat ini harus berfokus pada peningkatan inovasi dan kreativitas.
Kantor pusat seperti Facebook, Google, dan Apple adalah contoh nyata perubahan paradigma ruang kantor saat ini. Jika diperhatikan, kita tidak akan melihat kantor-kantor raksasa teknologi seperti Facebook, Google, dan Apple disibukkan dengan bunyi mesin printer atau mesin fotocopy seperti aktivitas perkantoran kebanyakan, namun yang banyak ditemukan adalah interaksi antar personal, yang bahkan tidak terjadi di ruang rapat, namun terjadi di ruang bermain di mana ruang-ruang tersebut menyediakan console game, terowongan buatan, bahkan papan seluncuran. Para karyawan tidak duduk mengerjakan tugasnya selama 8 jam di sekat-sekat meja yang kaku, namun mereka melakukan tugasnya di ruang-ruang bermain seperti yang dijelaskan di atas. Mereka bukanlah karyawan biasa, mereka merupakan bagian dari perusahaan terbesar didunia dengan total valuasi pasar hampir sebesar 1 triliun US $ dolar.
Singkatnya, ruang kerja saat ini tidak bisa dilihat sebagai aset perusahaan semata, namun harus dilihat sebagai sumber daya perusahaan. Hal ini juga harus tercermin dalam konteks manajemen ruang kantor sebagai suatu properti. Oleh karena ruang kantor dilihat sebagai sumber daya perusahaan, maka pendekatan manajemen properti yang harus dilakukan adalah pendekatan manajemen manusia (managing people), bukan dengan pendekatan manajemen bangunan (managing buildings) (Rob, 2015). Hal ini seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi para pemilik co-working space maupun bagi para perusahaan manajemen properti.
Menakar Prospek dan Tantangan Co-Working Space
Pertumbuhan co-working space perlahan tapi pasti menyusul jika dibandingkan pertumbuhan ruang kantor konvensional. Laporan dari Cushman & Wakefield memprediksi bahwa permintaan terhadap co-working space di asia tenggara akan meningkat sebesar 10-15 persen per tahun. Sedangkan permintaan ruang kantor cenderung menurun. Laporan market overview Colliers menunjukkan kecenderungan angka yang menurun terhadap occupancy rate ruang kantor yang kebanyakan berpusat di CBD Jakarta. Dengan kecenderungan saat ini, saya memprediksi bahwa tingkat kekosongan ruang kantor saat ini akan mencapai titik terendahnya paling tidak selama 5 tahun terakhir karena dengan tingkat demand dan occupancy yang menurun, sisi pasokan (supply) ruang kantor justru terus bertambah.
Sekali lagi, hal ini terjadi karena tuntutan kebanyakan perusahaan start-up dan pekerja freelancer yang membutuhkan ruang kerja fleksibel dan berbiaya murah. Mereka tidak ingin terikat dengan kontrak panjang yang biasanya menjadi syarat untuk menyewa ruang kantor konvensional. Secara ekonomis, co-working space paling tidak menawarkan biaya lebih murah 10 hingga 30 persen dari ruang kantor konvensional.
Dengan potensi pertumbuhan UMKM di Indonesia yang sangat tinggi, maka masa depan co-working space sangat prospektif. Hingga saat ini tercatat jumlah UMKM di Indonesia sebanyak hampir 60 juta dengan kontribusi PDB sebesar 62,58% dan penyerapan tenaga kerja sebesar 96,99%. Sedangkan pertumbuhan bisnis digital Indonesia salam 10 tahun terakhir tumbuh sekitar 17% dengan total 26,2 juta pengusaha online. Google bahkan memprediksi bahwa pada tahun 2025 angka ekonomi digital di Asia akan tembus pada angka US$200 miliar di mana Indonesia berada di peringkat kelima pengguna internet dunia yaitu sebanyak 132,7 dengan penetrasi 50,4%. Angka-angka tersebut menjadi bukti bahwa kebutuhan co-working space yang linear dengan pertumbuhan UMKM, ekonomi digital, dan industri kreatif menjadi sangat relevan dimasa yang akan datang. Oleh sebab itu menjadi wajar apabila co-working space telah mendapatkan tiket spesial sebagai kategori kelas baru pasar real estat.
Tantangan terbesar yang dihadapi co-working space adalah pendanaan. Baik pendanaan jangka panjang ataupun jangka pendek. Rata-rata pemilik atau pengembang co-working space memiliki dana yang terbatas, mengingat kebanyakan pemilik atau pengembang co-working space juga tergolong sebagai start-up companies. Dampak jangka pendek dari hal tersebut mengakibatkan kebanyakan co-working space yang ada di Indonesia kesulitan untuk menyediakan fasilitas teknologi yang tergolong advanced seperti wireless printer, advance conference room, superfast internet dan lainnya. Sedangkan dampak jangka panjang dari minimnya pendanaan adalah keberlangsungan bisnis (business sustainability). Mengingat penyedia co-working space yang kebanyakan menyewa ruang kantor konvensional atau menumpang ruang komersial seperti coffee shop, beban biaya sewa dan servis akan cenderung tinggi. Salah satu alternatif yang mungkin menjadi solusi adalah suntikan dana dari venture capital. Dengan bantuan dana segar, diharapkan penyedia co-working space dapat lebih leluasa dan percaya diri dalam menjalani bisnis dan memberikan layanan maksimal kepada para customer.
Selain pendanaan hal yang masih menjadi tantangan adalah edukasi pasar. Penetrasi pasar dari co-working space dibandingkan ruang kerja konvensional tergolong lemah, dimana co-working space masih sedikit diketahui oleh kebanyakan pelaku industri kreatif dan perusahaan start-up. Terkadang co-working space atau ruang kreatif sejenis hanya dipandang sebagai upgraded coffee shop yang menyediakan tidak lebih dari meja kerja dan koneksi internet, tanpa mempertimbangkan esensi co-working space itu sendiri sebagai ruang kerja kolaboratif (British Council, 2017).
Terakhir adalah faktor manajemen dan pemasaran. Ruang kerja saat ini tidak bisa dilihat sebagai aset perusahaan semata, namun harus dilihat sebagai sumber daya perusahaan. Hal ini juga harus tercermin dalam konteks manajemen ruang kantor sebagai suatu properti. Oleh karena ruang kantor dilihat sebagai sumber daya perusahaan, maka pendekatan manajemen properti yang harus dilakukan adalah pendekatan manajemen manusia (managing people), bukan dengan pendekatan manajemen bangunan (managing buildings) (Rob, 2015). Artinya, dibutuhkan kompetensi manajemen khusus untuk mengelola bisnis co-working space agar tetap menarik. Perubahan set-up ruang secara berkala mungkin dibutuhkan untuk memberikan kesan inovatif dan atraktif. Selain itu, terobosan pemasaran seperti membership dan program khusus juga perlu dilakukan. Laporan dari British Council menyatakan bahwa saat ini revenue stream terbesar dari co-working space berasal dari program/event, sewa ruang, dan sponsorship. Oleh sebab itu, dibutuhkan terobosan marketing yang unik dan inovatif dari manajemen agar pendapatan co-working space bisa terus meningkat.
Daftar Referensi
Evans, Graeme., Foord, Jo., Gertler, S Meric., Tesolin, Lori., Weinstock, Sarah (2006). Strategies fo Creative Spaces and Cities: Lessons Learned. Cities Institute, London Metropolitan University and Munk Centre for International Sstudies, University of Toronto.
Harris, Rob (2015). The Changing Nature of The Workplace and The Future of Office Space. Journal of Property Investment & Finance; Bradford Vol. 33, 424-435.
Marino, Mina Di., and Lapintie, Kimmo (2017). Emerging Workplaces in Post-Functionalist Cities. Journal of Urban Technology, Vol. 24: 3, 5-25.
Siregar, Fajri., and Sudrajat, Daya (2017). Enabling Spaces: Mapping Creative Hubs in Indonesia. British Council, Centre for Innovation Policy and Governance.
Statista, 2018. Number of Coworking Spaces Worldwide from 2005 to 2018. Tersedia di, www.statista.com/statistics/554273/number-of-coworking-spaces-worldwide/, di akses pada 13 Juli 2018.