Posted On : Harian Kontan, 27 Maret 2020
Harizul Akbar Nazwar, B.Eng., M.Ec.Dev., MAPPI (Cert.)

Missed-Prediksi
Beberapa stimulus ekonomi baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan pasar properti sudah dikeluarkan. Adapun paket kebijakan yang menjadi jurus ampuh pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan properti adalah relaksasi loan to value KPR dari 10% menjadi 5% yang efektif berlaku pada tanggal 2 Desember 2019. Selain itu, sejak pertengahan tahun 2019, Menteri Keuangan juga telah menurunkan PPNBm (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) terhitung dengan mengeluarkan peraturan menteri keuangan nomor PMK 92/PMK.03/2019. Batas bawah PPNBm di tingkatkan dari 20 miliar menjadi 30 miliar dengan tujuan mendongkrak pasar properti kelas menengah ke atas.
Namun hingga triwulan I tahun 2020, belum ada tanda-tanda pasar properti di Indonesia membaik. Hasil riset Colliers menunjukkan bahwa pertumbuhan harga apartemen di CBD Jakarta pada triwulan IV 2019 tumbuh stagnan secara qtq, sedangkan secara yoy hanya tumbuh sebesar 0,8%. Adapun Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) BI mencatat penurunan pertumbuhan yang hanya sebesar 1,77%, lebih rendah dibandingkan 1,80% pada triwulan III 2019. Perlambatan juga ditunjukkan pada pasar properti komersial. Pasar properti komersial di Indonesia tercatat mengalami perlambatan signifikan yaitu dari 3,12% (yoy) pada triwulan III menjadi hanya 0,04% (yoy) pada triwulan IV 2019.
Kondisi ini juga diperparah dengan tertekannya kondisi ekonomi Indonesia selama akhir semester 2019. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2019 hanya sebesar 5,02% lebih rendah dari pencapaian di tahun 2018 yaitu sebesar 5,17%. Mempertimbangkan bahwa sektor properti memiliki linkage terhadap 10 sektor lainnya, maka perlambatan ekonomi secara nasional juga secara langsung akan berdampak terhadap perlambatan sektor properti.

Hantaman Badai Covid-19
Pasar global merespon dengan sangat reaktif terhadap merebaknya Covid-19. Bursa saham di sejumlah negara Asia kompak turun sebesar 2%-5% di akhir februari 2020. Begitu juga posisi Rupiah terhadap Dollar yang tertekan menyentuh level 16.600 per 1 USD per tanggal 23 Maret 2020. Pelemahan rupiah menjadi ketiga yang terbesar di antara mata uang Asia lainnya. Bahkan, Bursa Efek Indonesia telah beberapa kali menerapkan trading halt karena anjloknya pasar saham lebih dari 5%. Lantas apakah katalis ini juga akan berdampak pada sektor properti?
Banyak prediksi bahwa sebagian besar perekonomian global akan mengalami resesi ekonomi yang cukup besar, bahkan diprediksi lebih parah dari krisis ekonomi 2008. Kunci dari masalah ini adalah ketidakpastian. Di kondisi saat ini, sulit untuk bisa menakar dampak jangka panjang dari Covid-19. Oleh sebab itu, penting untuk berfokus pada dampak jangka pendek yang mungkin terjadi akibat penyebaran Covid-19 terhadap pasar properti.
Terkait dengan sektor perkantoran, Gubernur Jakarta telah mengeluarkan surat himbauan agar perusahaan yang berada di DKI Jakarta dapat menghentikan kegiatan operasional sementara. Hal ini ditujukan agar kebijakan social distancing dapat berjalan dengan efektif. Dengan keadaan seperti ini, banyak perusahaan yang kesulitan menjalankan bisnisnya sehingga meningkatkan resiko kesulitan membayar sewa. Di sisi lain, kenaikan harga sewa menjadi semakin tertekan akibat menurunnya tingkat permintaan baru di sektor perkantoran. Adapun resiko paling tinggi akibat kondisi ini adalah para pemilik office space yang kebanyakan menjalankan sewa jangka pendek kepada para tenant. Terkait kondisi seperti ini, menjadi relevan untuk mengulas beberapa kondisi masa lalu yang diakibatkan wabah SARS hampir dua dekade sebelumnya. Ketika itu pasar perkantoran di Hongkong menurun secara drastic sebesar -17% (yoy) yang diikuti dengan negara lain yang terinfeksi SARS.
Terjangan badai Covid-19 juga menghantam sub-sektor properti komersial seperti hotel dimana penyelenggaraan MICE telah resmi dilarang hingga waktu yang belum ditentukan. Diprediksi sektor perhotelan dan pariwisata akan terpukul sangat keras mengingat pembatasan pariwisata asing ke Indonesia. Penurunan tingkat okupansi hotel dapat menyentuh level 20%-40% dalam beberapa bulan kedepan. Mempertimbangkan bahwa sektor perhotelan dan pariwisata merupakan sektor yang memiliki beban karyawan yang besar, maka dampak multipliers-nya akan besar pula.
Di sektor ritel, kebijakan social distancing memaksa sebagian besar pusat ritel dan shopping center di Jabodetabek membatasi jam kerja operasionalnya. Bahkan beberapa ritel dan shopping centre memilih untuk menutup secara penuh aktivitasnya. Kondisi ini secara langsung akan berpengaruh terhadap pendapatan tenant sehingga akan mempersulit kemampuan cash-flow perusahaan untuk membayar sewa. Secara jangka pendek, konsumsi domestik khususnya untuk barang-barang sekunder juga akan menurun karena masyarakat meminimalisir kegiatan belanja di luar. Di sisi lain, dalam kondisi ini pedagang online dan supermarket yang menyediakan jasa pengiriman jarak jauh akan mendulang benefit karena tingkat permintaan dengan online shopping akan melonjak.
Terhadap sektor properti residensial, volatilitas terkait dengan penurunan harga sepertinya tidak akan sebesar sektor lainnya. Namun yang menjadi kekhawatiran adalah menurunnya paritas daya beli (purchasing power parity) terhadap kewajiban pembayaran KPR pada kondisi ekonomi seperti ini. Menteri Keuangan Indonesia bahkan menyebutkan worst scenario dari pandemi Covid-19, adalah tertekannya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya mampu tumbuh sebesar 2,5% – 0%. Jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga KPR sebesar 10% – 13%, gap antara pertumbuhan ekonomi dan suku bunga KPR terlalu tinggi sehingga meningkatkan resiko gagal bayar secara signifikan. Oleh sebab itu penting untuk sesegera mungkin menurunkan tingkat suku bunga KPR dan memberikan stimulus untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Selain itu, yang perlu di antisipasi adalah sektor konstruksi yang menjadi penopang utama sektor properti. Beberapa progres proyek, khususnya yang menggunakan material atau bahan baku yang berasal dari negara-negara terdampak Covid-19 memiliki potensi terpengaruh progres pembangunannya. Dengan sentimen negatif yang terus menerus terkapitalisir terkait dampak Covid-19, membuat investor dan end buyer cenderung menahan investasi di sektor properti dan lebih memilih untuk mendepositokan dananya sebagai upaya preventif di tengah ketidakpastian ekonomi. Jelas bahwa kita tidak ingin mendengar peringatan seperti kata pilot “brace for impact”, namun penting untuk mengantisipasi semua kemungkinan karena kondisi awan yang semakin gelap.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

× seven = 49